Epidemi obesitas: akibat penurunan Basal Energy Expenditure (BEE) bukan karena penurunan aktivitas fisik?

Sebuah penelitian yang sangat menarik yang dipublikasikan di sebuah jurnal bereputasi Nature Metabolism dengan 5 year Impact Factor 19,95 (2021) berkesimpulan bahwa terjadi penurunan total energy expenditure (TEE) yang disebabkan oleh penurunan basal energy expenditure (BEE)/basal metabolic rate (BMR), dan bukan karena penurunan activity related energy expenditure (AEE).

Penelitian ini menganalisa data TEE yang dikumpulkan selama hampir 40 tahun sejak tahun 1980. Metode pengukuran TEE ini menggunakan doubly labelled water (DLW) yaitu air yang mengandung isotope hydrogen dan oksigen dengan komposisi tertentu yang memungkinkan pengukuran TEE pada mereka yang hidup bebas seperti biasa (free living condition) tanpa ada modifikasi gaya hidup. Bagi yang tartarik memahami metode DLW ini bisa membaca paper ini sebagai pengantar.

Penelitian ini mengumpulkan data TEE dari 4779 orang yang ada pada database Badan Energi Atom International (IAEA). Peneliti menunjukkan bahwa ada penurunan TEE 7,7% pada laki-laki, dań 5,5% pada perempuan yang secara kuantitatif setara dengan 220 kkal dan 122 kkal. Dengan kata lain, manusia saat ini memakai lebih sedikit energi untuk aktivitas kesehariannya yaitu minus 220 (laki-laki) dan -122 (perempuan) kalori dibanding manusia pada tahun 80an. Apa penyebab penurunan pemakaian energi sehari-hari ini? Secara intuitif dan asumtif selama ini kita beranggapan karena terjadi penurunan aktivitas fisik karena manusia semakin kurang berolahraga, gaya hidup lebih santai (sedentary). Anggapan yang sama sekali tidak salah mengingat banyak penelitian dengan berbagai metode menunjukkan bahwa manusia semakin hari semakin kurang aktivitas fisiknya, semakin kurang berolahraga. Namun perlu diingat pula bahwa data penelitian DLW ini hanya mengambil subyek dari Eropa dan Amerika. Jadi belum jelas apakah tren dałam penelitian ini bisa digeneralisasi pada subyek di tempat-tempat yang lain yang berbeda secara geografis maupun gaya hidup.

Dari keseluruhan data mereka, subset data sebanyak 1472 individu memiliki data BEE/BMR sehingga memungkinkan menghitung AEE. Secara sederhana hubungan ketiganya adalah TEE= BEE + AEE. Di sinilah mereka mendapatkan temuan yang mengejutkan bahwa ternyata penurunan TEE disebabkan oleh penurunan BEE bukan karena penurunan AEE, bahkan AEE menunjukkan tren peningkatan dalam hampir 4 dekade terakhir (lihat gambar di bawah). Analisa TEE dan AEE ini sudah diadjusted berdasarkan komposisi tubuh, jadi pengaruh massa otot dan komposisi tubuh secara keseluruhan terhadap analisa data sudah dinetralkan.

Apa yang menjadi penyebab menurunnya BEE ini? Ada beberapa hipotesis yang diajukan oleh para penulisnya yaitu: perubahan komposisi diet manusia. Mereka melakukan penelitian in-vivo pada tikus dan berteori bahwa penurunan intake saturated fat kemungkinan bertanggungjawab terhadap penurunan BEE ini. Pada hewan coba mencit, mereka menunjukkan bahwa peningkatan intake saturated fat berkorelasi positif dengan BEE (diukur sebagai residual energy expenditure). Hipotesis lain adalah adanya peningkatan konsumsi diet dengan indeks glikemik load yang tinggi yang menurut teori carbohydrate-insulin model (CIM) akan meningkatkan level basal insulin kronik yang mengakibatkan penurunan BEE. Hipotesis lain adalah penurunan aktivitas sistem imun karena semakin berkurangnya tingkat infeksi di masyarakat.

Apa implikasi dari penelitian ini? Peneliti berspekulasi bahwa epidemi obesitas sekarang kemungkinan bukan disebabkan oleh semakin berkurangnya aktivitas fisik tapi semakin menurunnya BEE/BMR. Ini membuka peluang ide penanganan epidemi obesitas dengan usaha-usaha untuk meningkatkan BEE/BMR di masyarakat. Pertanyaannya bagaimana?Mungkin orang-orang yang gandrung terhadap high fat diet/low carbohydrate/ketogenic diet akan bilang ini bukti bahwa metode diet mereka semakin terbukti kebenarannya? Jangan terburu-buru, sebagaimana penelitian yang lain penelitian ini hanya memberikan indikasi yang masih harus dikoroborasi dengan penelitian yang lebih lanjut.

Riuh Rendah RUU Kesehatan: Butuh Timeout

Di momen Idul Fitri 1 Syawal 1444 H, saya sedikit mau nimbrung dengan riuh rendah wacana terkait rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan meski saya tidak ada kapasitas bicara tentang substansi RUU tersebut. Saya belum sempat membaca RUU tersebut, belum sempat pula membaca naskah akademiknya. Saya pikir dengan membaca naskah akademiknya, setidaknya kita bisa mengetahui konsideran-konsideran serta alasan fundamental kenapa RUU tersebut menjadi penting diusulkan. Yang saya tahu, RUU ini adalah inisiatif DPR, namun belakangan sepertinya Pemerintah yang dimotori Menteri Kesehatan lebih getol dalam memberi daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk dibahas dengan DPR. Kabarnya ada 3020 DIM yang disetor oleh Pemerintah lewat Menkes. Saya hanya sempat mengikuti kontroversi yang terjadi antara Pemerintah di satu sisi, yang diwakili oleh Menteri Kesehatan dan jajarannya, dan di sisi lain organisasi profesi diantaranya oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Pokok-pokok kontroversi RUU Kesehatan ini diantaranya yang saya tangkap adalah: adanya usaha Pemerintah lewat Menkes akan memberangus lembaga-lembaga otonom yang ada pada organisasi profesi seperti MKDKI, Kolegium. Lembaga dibawah Presiden seperti Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang merupakan penentu arah dan regulasi pembinaan praktik kedokteran juga sepertinya akan didekonstruksi. Semua lembaga-lembaga yang memiliki wewenang yang strategis, dan selama ini menjalankan tupoksinya dengan cukup baik-menurut pengamatan saya-akan digantikan oleh lembaga/organisasi/mekanisme dibawah Menkes. Jadilah Menkes/Kemenkes sebagai lembaga superbody yang memiliki ranah mengendalikan lembaga-lembaga profesi kesehatan yang selama ini otonom dan imparsial.

Kalau niat Pemerintah/Menkes untuk memperbaiki inekualitas layanan kesehatan yang selama ini memang jauh dari kata optimal baik antara daerah urban dan pedesaan, antara orang kaya dan orang miskin, tentu membangun pertentangan bahkan permusuhan psikologis dengan organisasi profesi kesehatan adalah kontraproduktif. Bayangkan seorang jendral tentara memupuk hubungan tidak harmonis dengan pasukannya sebagai persiapan berperang melawan musuh di depan? Masukan-masukan dari letnan, mayor, letkol, dan kolonelnya yang banyak pengalaman tempur seakan-akan tidak berharga, bahkan membebastugaskan beberapa diantara mereka? Bagaimana kesolidan pasukan secara keseluruhan melawan musuh?

Organisasi profesi dań lembaga-lembaga otonomnya juga harus instropeksi diri. Mereka juga harus bisa melihat ada peluang memperbaiki diri dan sistem kesehatan Indonesia dari kontroversi yang terjadi ini. Status quo dan zona nyaman mungkin perlu dilewati bersama agar ke depan masyarakat akan lebih baik dan puas dengan pelayanan kesehatan yang mereka terima. Kalau kita mau jujur, masyarakat kita masih jauh dari kata puas dalam menerima pelayanan kesehatan di Indonesia. Suka atau tidak suka kenyataan bahwa jumlah dokter spesialis di Indonesia jauh dari kata cukup, dan kalau kita tidak melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem pendidikan kedokteran terutama pendidikan dokter spesialis maka jumlahnya tidak akan pernah tercukupi. Sudah bukan zamannya lagi kita bangga dengan sebutan ” dokter specialist X satu-satunya di Indonesia Timur”, “dokter transplantasi X satu-satunya di daerah Y”. Sudah bukannya zamannya lagi pasien harus menunggu berjam-jam di rumah sakit sebelum dokternya datang melayani. Sudah bukan zamannya lagi dokter bekerja di banyak rumah sakit hanya karena pendapatannya masih kurang. Sudah bukan zamannya lagi pendidikan spesialis sangat mahal dan tanpa gaji. Sudah bukan zamannya lagi pasien/keluarga pasien BPJS harus mengontak orang dalam rumah sakit untuk mendapatkan tempat tidur rujukan ke pelayanan yang lebih tinggi. Sudah bukan zamannya lagi pasien serangan jantung koroner meninggal karena lambat mendapat pertolongan karena harus dirujuk ke fasilitas yang jauh atau karena dokter jantung intervensi yang tidak berapa banyak berhalangan karena suatu hal. Bukan zamannya lagi ada keluhan pasien terhadap perawat-perawat yang tidak ramah dan ketus. Dan masih banyak lagi hal lain yang menjadi sorotan negatif masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia yang harus diperbaiki. Tentu masalah-masalah ini adalah kompleks dan tidak mudah diatasi semudah membalik telapak tangan.

Masalah pemerataan dokter spesialis di berbagai daerah juga harus menjadi perhatian utama. Kebanyakan dokter spesialis terkonsentrasi di pulau Jawa dan kota-kota besar. Sementara banyak daerah dan bahkan provinsi tertentu tidak memiliki spesialis tertentu. Tentu ini tugas berat Kementerian Kesehatan yang selama ini sepertinya dibiarkan berlarut-larut. Sekali lagi, mengatasi ini tidak akan semudah membalik telapak tangan. Butuh pendekatan yang kompleks dan waktu. Pendekatan “one fits all policy” tidak akan bekerja. Pendekatan kekuasaan juga tidak akan bekerja. Pendekatan dialogis adalah kunci melahirkan kebijakan dan arah yang lebih baik.

Memperbaiki sistem Kesehatan dan kualitas pelayanan Kesehatan di Indonesia masih memerlukan perjalanan panjang. Semua pemangku kebijakan dan kepentingan harus duduk bersama dan berdialog, bukan menciptakan barier dań permusuham psikologis seperti yang terjadi saat ini. Negara besar ini memiliki banyak orang pintar dan banyak orang berkepentingan. Oleh karena itu perbedaan pendapat dan persepsi adalah suatu yang wajar. Kita terlalu sering menggaruk tempat yang salah, padahal yang gatal ada di tempat lain. Oleh karena itu kita semua butuh timeout untuk melakukan refleksi. Kita butuh banyak dialog daripada politicking. Semoga momen Idul Fitri ini membawa kita kembali ke fitrah dan menyadari bahwa hanya dengan dialog yang terbuka dan saling memahami kita bisa lebih berpeluang menyelesaikan masalah.

Ramadan dan Kaizen Spiritual?

Saya merasakan dan melihat fakta dan fenomena bagaimana bulan Ramadan merupakan momentum kesalehan bagi banyak kaum muslimin. Masjid-masjid yang pada hari-hari biasa kurang ramai, shafnya paling banyak satu sampai dua baris, pada bulan Ramadan-setidaknya di sepuluh hari pertama- sering terisi penuh. Kadang kalau kita agak terlambat, harus berpuas diri untuk membuat shaf di emperan mesjid. Ramadan juga menjadi momentum berbagi kepada mereka yang memerlukan; panti asuhan sering mendapat undangan buka puasa, fakir dań miskin mendapat banyak berkah berupa sedekah, zakat di bulan yang mulia ini. Banyak muslim mengisi hari-harinya dengan lebih banyak kegiatan ibadah; Al-Qur’an lebih sering dibaca dan ditamatkan, sholat sunnah lebih dibanyakkan, dan 10 hari terakhir Ramadan banyak yang melakukan I’tikaf di masjid bahkan ke Tanah Suci Makkah. Ramadan bagi banyak muslim menjadi bulan meningkatkan spiritualisme dan aktualisasi kebaikan bagi sesama.

Saya teringat dengan Kaizen pada filosofi penjaminan mutu institusi pendidikan tinggi dan akreditasi rumah sakit. Kaizen ini awal sejarahnya adalah prinsip yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan Jepang untuk terus melakukan perbaikan (continuos improvement) dalam sistem kerjanya dalam rangka optimalisasi performa dan efisiensi. Kaizen ini sederhananya upaya memperbaiki kekurangan secara terus menerus sehingga dari waktu ke waktu level performa semakin baik.

Kalau melihat fenomena peningkatan kesalehan yang terjadi pada banyak muslim pada bulan Ramadan, apakah hal tersebut sejalan dengan peningkatan spiritualitasnya? Spiritualitas sering dimaknai sebagai peningkatan kesadaran hubungan seorang hamba dengan Penciptanya atau Tuhannya, di dalamnya tercakup pemahaman tentang makna dan tugas hakiki sebagai mahluk di dunia ini. Spiritualitas ini lebih menekankan kepada refleksi transendental seorang hamba dengan Tuhannya. Peningkatan spiritualitas karena proses reflektif, perenungan, tadabbur ayat suci sangat sering meningkatkan kesalehan seseorang dalam bentuk peningkatan frekuensi dan intensitas ibadah, dan perbuatan baik kepada sesama. Peningkatan spiritualitas disertai peningkatan kesalehan ini saya kira merupakan tingkatan yang tertinggi dibanding misalnya hanya peningkatan spiritual saja atau peningkatan kesalehan semata.

Kaizen merupakan prinsip yang harus dilakukan secara terus menerus tanpa mengenal waktu dan momentum pada perusahaan atau organisasi. Namun biasanya perbaikan-perbaikan dipicu oleh suatu kejadian yang merugikan katakanlah ada penurunan produksi suatu waktu tertentu. Penurunan produksi ini akan dianalisa penyebabnya dari berbagai sisi sampai ketahuan faktor-faktor yang perlu mendapat perbaikan dań penyempurnaan. Bagaimana dengan fenomena peningkatan kesalehan Ramadan? Bisakah disebut sebagai kaizen spiritual?

Secara pribadi saya kira kita diharapkan melakukan kaizen spiritual secara terus menerus tanpa mengenal waktu khusus. Jadi posisi Ramadan sebagai apa? Menurut saya Ramadan merupakan momentum menguji kaizen spiritual yang kita lakukan di luar bulan Ramadan.

Pengembangan Kompetensi Spesialis Gizi Klinik: Mutlak dan Perlu untuk Mengokohkan Ceruk Keahlian

Spesialis Gizi Klinik/Klinis (SpGK) adalah bidang spesialisasi kedokteran yang relatif baru. Perhimpunannya yaitu Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik (PDGKI) ditetapkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pada tahun 2003. Program Pendidikan Dokter Spesialis Gizi Klinik (PPDS GK) pertama kali di buka oleh Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada tahun 2008.

Di usianya yang masih belia, Gizi Klinik (GK) telah ikut memberikan kontribusi dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Setidaknya ada beberapa kontribusi pokok yang dijalankan oleh GK yaitu: 1) pemberian terapi gizi medis pada pasien yang dirawat di rumah sakit yang memerlukannya, baik karena mengalami malnutrisi atau beresiko mengalami malnutrisi oleh sebab penyakit atau gangguan kesehatan yang dialaminya, 2) memberikan edukasi gizi pada individu sehat dan masyarakat untuk mencapai perubahan gaya hidup yang menunjang pencapaian promosi kesehatan dan upaya preventif penyakit kronis. Kontribusi pokok ini akan diperkaya dengan kiprah GK dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait gizi klinik melalui upaya penelitian dan pengembangan terutama oleh insan GK yang berada di institusi pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.

Sekarang mari kita bicara tentang pengembangan kompetensi SpGK ke depan. Pengembangan kompetensi dan skill ini mutlak dan sekaligus perlu mengingat bidang spesialisasi ini memerlukan “niche” atau ceruk keahlian yang lebih komplit dari yang telah dimiliki sekarang. Pengembangan ini tentunya diharapkan meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien pada akhirnya. Peningkatan kualitas ini bisa terkait dengan kecepatan pelayanan yang diberikan, dan tentu saja terkait ketepatan dan akurasi pelayanan yang diberikan oleh SpGK sesuai dengan kondisi medis pasien. Tulisan ini lebih mengulas tentang wacana pengembangan kompetensi dan skill pada pelayanan terapi gizi medis pasien di rumah sakit.

Pokok-pokok pengembangan kompetensi dan skill SpGK yang sangat penting dalam peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan sekaligus lebih mengokohkan “niche” atau ceruk keahliannya adalah (namun tidak terbatas pada):

  • penguasaan skill dalam memasang akses enteral dalam pemberian terapi medis gizi. Kalau selama ini pemasangan naso-gastric tube (NGT) merupakan bagian dari kompetensi dasar yang kebanyakan dilaksanakan oleh perawat/nurse, maka ke depan SpGK harus bisa memasang naso-duodenal atau naso-jejunal tube untuk post pyloric feeding. Pemasangan post-pyloric tube ini bisa dilakukan dengan teknik manual maupun dengan memakai endoscopy. Oleh karena itu kemampuan SpGK memakai endoscopy adalah sesuatu yang perlu dipikirkan pengembangannya ke depan. Dengan kemampuan pemakaian endoscopy ini diharapkan pula SpGK bisa memasang akses percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG) secara rutin jika diperlukan. Dengan penguasaan skill ini, SpGK bisa memberikan support nutrisi enteral dengan lebih cepat dan tepat sesuai kondisi pasien, serta menjadi satu paket dalam terapi gizi medis yang diberikan.
  • penguasaan skill dalam memasang akses parenteral dalam pemberian terapi medis gizi. Akses parenteral yang dimaksud di sini adalah pemasangan kateter vena sentral baik yang dilakukan langsung ke vena besar seperti vena jugularis atau dipasang secara perifer yang biasa disebut peripherally inserted central catheter (PICC) di vena Basilica sebagai contoh. Lagi-lagi ini akan meningkatkan kecepatan layanan kepada pasien karena sudah menjadi satu paket dengan terapi gizi medis yang diberikan.
  • penguasaan penggunaan ultrasonography (USG) maupun point of care ultrasonography (POCUS) dalam melakukan asesmen massa otot pada pasien yang dirawat. Massa otot pasien atau perubahannya selama perawatan sangat berkaitan dengan luaran (outcome) dari pasien baik yang dirawat di ICU maupun di bangsal perawatan. Salah satu tujuan utama pemberian terapi gizi medis SpGK adalah menjaga agar massa otot pasien tidak menurun atau kalau menurun, seminimal mungkin selama perawatan. Akan lebih baik lagi jika bisa meningkatkan massa otot ini selama perawatan dengan terapi gizi medis, mobilisasi lebih awal dengan atau tanpa alat bantu. Penggunaan USG atau POCUS ini adalah kemampuan pokok yang diperlukan untuk secara akurat mengukur perubahan massa otot dengan lebih mudah dan cepat. Kemampuan penggunaan USG ini juga perlu dałam membantu pemasangan akses parenteral untuk mencitrakan pembuluh darah yang akan digunakan untuk pemasangan kateter.
Percuteneous endoscopic gastrostomy

Tentu dengan pengembangan kompetensi SpGK ini akan membuka peluang terjadinya persinggungan dengan kompetensi dari spesialisasi lain (shared competency) namun hal tersebut memang sudah lazim terjadi dalam pengembangan dunia kedokteran. Yang perlu dimenej adalah ruang dań waktu, dimana dan kapan kompetensi tersebut diterapkan oleh spesialis yang berbeda dengan mempertimbangkan kecepatan dan kualitas pelayanan di rumah sakit bagi pasien.

Pemgembangan keahlian SpGK yang dibahas di atas terbatas dalam terapi gizi medis di rumah sakit dalam menunjang terapi yang diberikan kupada pasien secara paripurna. Pemgembangan kompetensi yang lain yang belum disinggung adalah terkait gizi klinik sosial yang didalamnya tercakup home enteral/parenteral nutrition, intervensi gizi masyarakat, serta kemampuan edukasi gizi masyarakat dalam rangka promosi kesehatan dan pencegahan penyakit kronis.

Semoga bidang spesialisasi ini bisa terus berkembang dan berkontribusi lebih baik dan bermakna dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Perkembangan spesialisasi kedokteran ini di masa depan sepertinya akan sangat menarik (exciting). Namun untuk itu, insan GK harus menorehkan sendiri masa depan itu dengan perencanaan-perencanaan yang matang, bijak, dan dalam eksekusinya senantiasa kolaboratif dengan sejawat dan tenaga kesehatan yang lain sebagai profesional pemberi asuhan.

Memahami Jiwa Crazy Rich

Manusia adalah mahluk yang mudah mengagumi atau terpengaruhi oleh manusia lain (impressionable) terutama oleh yang sukses dan terkenal. Sukses tentunya punya makna yang beragam bagi tiap orang, namun terkenal atau populer punya makna bahwa figur manusia tertentu diketahui banyak orang. Sukses dan terkenal adalah dua atribut dari figur publik. Di sisi lain, kesuksesan selalu dikaitkan dengan hal yang positip dan baik menurut standar masyarakat. Namun standar positip bagi masyarakat dan individu bisa sama bisa pula berbeda. Lebih lagi, standar positip dan baik itu bisa berubah karena berbagai hal termasuk perjalanan waktu. Bisa pula terjadi standar positip dan baik bagi masyarakat tidak diikuti oleh individu, dimana individu atau kelompoknya bisa memiliki standar sendiri. Standar positip dan baik ini meliputi standar etika dan moral, standar budaya kepantasan, namun kadang juga bersentuhan dengan standar hukum positip. Di Indonesia sendiri, standar etika dan moral dalam falsafah kehidupan sangat dipengaruhi oleh norma dan ajaran agama, budaya dan kearifan lokal yang sangat menghargai keseimbangan antara kecenderungan individualistik dan sosial insan masyarakat. Masyarakat kita sangat menghargai jalan tengah atau wasathiyah dałam berperilaku dań berekspresi. Kita umumnya membenci berlebih-lebihan dań kesia-siaan. Namun rupanya secara perlahan, bahkan menakutkan, perilaku berlebih-lebihan dan kesia-sian ini sudah mulai merangkak dalam ruang-ruang publik dan mempengaruhi alam bawah sadar generasi muda kita yang rentan. Fenomena ini terlihat jelas pada revolusi kesuksesan dan popularitas yang menghasilkan generasi influencer media sosial. Media sosial rupanya bisa menjadi wadah popularitas instan berkat potensi menjadi viral. Popularitas ini bisa bermakna ekonomi tinggi bagi sebagian orang, dunia industri dan dagang.

Gambar dari Detik Oto

Remaja atau yang masih muda adalah golongan yang paling rentan terpengaruh oleh orang sukses dan terkenal ini. Terpengaruh ini sendiri levelnya bisa bertingkat-tingkat, ada yang sekedar mengagumi dan jadi pengikut media sosial, namun tidak sedikit yang mau belajar dan bahkan meniru perilaku mereka. Golongan ini belum mampu berpikir kritis tentang apa yang mereka lihat, rasakan dan alami dari lingkungan sehari-hari, apalagi jika jiwa mereka masih setengah penuh dan kurang dari kebijaksanaan dalam menilai hakikat nilai dari suatu realitas. Mereka menjadi kagum dan haus akan kesuksesan, namun sayangnya banyak yang menganggap kesuksesan itu adalah identik dengan kekayaan atau harta. Mereka sepertinya jarang yang berusaha berpikir dan menilai darimana kekayaan atau uang para influencer media sosial itu diperoleh. Budaya “Wealth Flexing” alias pamer kekayaan menjadi salah satu ciri khas media sosial tertentu.

Wealth flexing yang dipertontonkan oleh banyak influencer media sosial berusa kehidupan yang glamor dengan berbagai ilusinya. Salah satunya ilusi bagaimana menjadi kaya dalam waktu cepat atau instan dengan cara-cara yang sebenarnya culas namun digambarkan sebagai cara yang wajar. Cara yang menawarkan keuntungan dalam waktu cepat tanpa harus melakukan usaha atau kerja yang berat, yang pada akhirnya terbongkar sebagai skema penipuan dan kejahatan yang sistematis.

Hidup glamor atau extravaganza adalah hidup yang berlebih-lebihan dan mempertontokan kekayaan agar mendapat kepuasan yang lebih namun banyak diminati oleh sebagian orang. Tentu ada psikologi dibaliknya, namun tidak sedikit juga yang memiliki agenda finansial untuk lebih memperkaya diri dengan mengorbankan orang lain yang tergiur menjadi kaya secara instan.

Perilaku extravaganza di kalangan orang-orang muda kaya raya yang sering diistilahkan sebagai crazy rich dari sudut pandang psikologi sering digolongkan sebagai ekspresi “costly signalling”. Kalangan ini terlihat merasa bahwa gaya hidup yang mewah adalah merupakan cara menunjukkan kelas sosial yang lebih tinggi. Mereka belum merasa puas jika gaya hidup itu dinikmati sendiri. tanpa disaksikan oleh orang lain. Mereka membutuhkan pengakuan dari orang sekitar dengan berbagai alasannya. Costly signalling salah satunya ditunjukkan melalui apa yang disebut conspicuous consumption”, yaitu membeli dan mempertontonkan barang-barang mewah yang harganya sangat mahal demi gengsi dan kebanggaan, padahal guna/utilitas barangnya bisa diperoleh dari barang atau benda lain yang lebih murah. Untuk apa hal tersebut mereka lakukan? Sebagian psikolog berhipotesis bahwa itu merupakan cara laki-laki untuk memikat “pasangan seksualnya” (sexual partners) dan bagi perempuan adalah merupakan sinyal agar pasangan lelakinya lebih terseleksi dan lebih setia. Bagaimana memahami hal ini dalam konteks kasus penipuan dan pencucian uang para crazy rich yang diciduk oleh Polri baru-baru ini? Mungkin gaya hidup glamor dan extravaganza mereka merupakan costly signalling dalam rangka meyakinkan para pengikutnya untuk terpikat melakukan trading ilegal. Gaya hidup mereka adalah pembentuk keyakinan bahwa trading atau investasi ilegal itu merupakan hal yang valid dan menjanjikan.

Gambar dari Shrimpy Academy

Manusia adalah mahluk yang rawan terkena kecanduan keserakahan (addicted to greed). Sebagaimana jenis kecanduan yang lain, keserakahan ini tidak mengenal akhir. Manusia tidak akan pernah puas dengan harta yang diperolehnya, karena dibalik jiwa-jiwa yang serakah ada dorongan untuk bersaing dengan orang kaya yang lain. Kepuasan yang diperoleh darinya hanya sesaat. Untuk memperoleh kepuasan jiwa berikutnya diperlukan perolehan harta yang lebih banyak lagi dań seterusnya. Akhirnya jiwa-jiwa mereka akan rentan dengan kekosongan makna. Keserakahan tanpa sadar memenjarakan jiwa-jiwa mereka dengan ilusi dan fantasi kehidupan nyaman dengan presumsi harga diri yang tingi oleh karena kepemilikan harta yang lebih banyak lagi. Keadaan mereka boleh diibaratkan dengan kehausan yang diberi minum air laut untuk menghilangkan dahaga. Orang-orang seperti perlu dinasehati dengan arif agar mereka berhenti sejenak untuk kontemplasi mendalam tentang tujuan hidup hakiki.

Rasulullah ketika kembali dari perang Tabuk melawan tentara Romawi saat mendekati kota Madinah, beliau dan pasukannya bertemu dengan seorang tukang batu dengan tangan yang sangat kasar. Lantas beliau pun bertanya kepada orang itu apa yang membuat tangannya begitu kasar. Orang itu menjawab bahwa setiap hari dia bekerja keras mengangkat dan memecah batu untuk dijual di pasar untuk menafkahi keluarganya. Rasulullah kemudian mengambil tangan tukang batu itu dan menciumnya. Rasulullah berkata,” inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya.”

Gambar dari Pixoto

Konsep keberkahan dan nilai harta yang diperoleh dengan jujur dan kerja keras begitu diagungkan dalam Islam. Islam mengajarkan memperoleh harta dengan cara yang halal, dan membelanjakannya dengan cara yang halal pula. Islam menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba. Islam menganjurkan umatnya menjadi pemurah dengan sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Islam tidak melarang orang menjadi kaya, namun juga pada saat yang sama mengajarkan manusia menghindarkan diri dari kerakusan dan mempertontonkan kemewahan. Rasulullah SAW mengajarkan kaum muslim, dalam soal harta mereka harus melihat ke bawah pada orang-orang yang memiliki harta lebih sedikit dan tidak seberuntung mereka; melihat ke atas pada orang-orang yang lebih sholeh dan ahli ibadah.

Catatan harapan untuk calon rektor Universitas Hasanuddin 2022-2026: “Standing on the shoulders of giants”

Universitas Hasanuddin telah memulai proses pendaftaran bakal calon rektor bulan Agustus 2021 ini. Rektor yang baru nanti akan menjabat masa tugas tahun 2022-2026. Seluruh calon rektor akan diseleksi secara administratif dan kompetensi oleh Senat Akademik Universitas untuk selanjutnya dipilih sebagai rektor oleh Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Hasanuddin. Berdasarkan statuta Unhas, MWA ini terdiri dari 19 orang yang terdiri dari unsur ex-officio, perwakilan dosen, perwakilan tenaga kependidikan, tokoh masyarakat, dan perwakilan mahasiswa.Dari unsur ex-officio ini terdapat Mendikbud, Gubernur Sulsel, Rektor Unhas, Ketua Senat Akademik, dan Ketua Ikatan Alumni. Ketua MWA saat ini dijabat oleh perwakilan tokoh masyarakat Komjen (Purn). Dr (HC). Drs. Syafruddin, MSi, mantan Wakapolri. Namun dalam Statuta Unhas yang disahkan sebagai PP Nomor 53 tahun 2015, terdapat klausul bahwa Menristek/Mendikbud memiliki 35% hak suara dari seluruh jumlah suara di MWA. Di Statuta yang sama terdapat pula ketentuan bahwa Rektor dan Ketua Senat Akademik tidak memiliki hak suara. Menarik untuk mengetahui detail tatacara dan mekanisme pemilihan rektor yang akan ditetapkan oleh MWA selanjutnya terutama mengenai hak suara pemilihan masing-masing anggota MWA apakah akan sesuai dengan statuta ataukah akan ada perubahan-perubahan tertentu.

Sebagai warga civitas akademik Unhas, tentu saya memiliki harapan-harapan yang banyak untuk rektor Unhas yang baru. Mengingat Unhas adalah salah satu perguruan tinggi negeri berbadan hukum dan termasuk dalam perguruan tinggi terbaik di tanah air, dengan anggaran belanja lebih dari 1 trilyun di tahun 2020, maka wajar harapan itu diletakkan lebih tinggi lagi ke depannya.

Tentu kita harus bangga dengan pencapaian-pencapaian prestasi Unhas selama ini baik dari segi governance dan luaran/output Tri Darma yang telah dihasilkan. Saya kira prestasi-prestasi itu bisa diakses informasinya dengan mudah oleh siapa saja yang mau mencari. Prestasi-prestasi ini ke depan tentu perlu dipertahankan, kalau bisa lebih ditingkatkan agar Unhas bisa terus mencapai level yang lebih baik.

Dalam perspektif saya sebagai warga Unhas, ke depan Unhas harus fokus untuk menjadi perguruan tinggi yang memiliki impact yang lebih besar dan bermakna kepada kemanusiaan sesuai dengan konsep Humaniversity yang diusungnya. Kita harus membedakan antara capaian prestasi luaran/ouput dengan capaian impact dalam konteks Humaniversity ini. . Meski kedua aspek ini bisa sangat berhubungan namun tidak selalu sejalan. Sebagai ilustrasi kecil, Unhas selama lima tahun terakhir menggenjot penelitian dan publikasi dosen dan penelitinya sehingga bisa menduduki urutan yang terhormat secara nasional, namun apakah penelitian dan publikasi tersebut memiliki impact yang dirasakan oleh masyarakat? Kalau memiliki impact seberapa besar dan seberapa luas artinya bagi kemanusiaan? Meski saya kurang membaca tentang filosofi dan arti konsep Humaniversity Unhas, dalam perspektif saya konsep ini bermakna cita-cita luhur kinerja Unhas bagai kemaslahatan kemanusiaan yang universal yang tidak dibatasi oleh batasan geografis dan kebangsaan

Untuk mengukur impact terhadap kemanusian yang saya maksud, mari kita ambil contoh yang paling relevan. Pandemi Covid-19 yang kita alami saat ini, salah satu cara mengatasinya adalah dengan melakukan vaksinasi. Di awal-awal pandemi begitu banyak institusi pendidikan dan penelitian, perusahaan bio-farma berlomba melakukan pengembangan vaksin dengan berbagai flatform teknologi dan menguji efektivitasnya. Hingga akhirnya di awal tahun 2021 vaksin tersebut siap dipakai di seluruh dunia. Salah satu vaksin ini adalah hasil penelitian dan pengembangan universitas Oxford dan AstraZeneca yang sudah terbukti efektif dan dipakai di seluruh dunia. Mengembangkan vaksin untuk dipakai oleh umat manusia adalah contoh impact kemanusiaan institusi pendidikan tinggi yang sangat besar di masa pandemi ini.

Tentu kita harus realistis dalam mengukur impact Unhas bagi kemanusiaan yang universal. Kalau kita hanya melihat hasil kinerja/output dan impact tanpa memperhatikan proses pencapaiannya, maka kita akan gampang mengalami ketidaksabaran, kekecewaan, dan rendah diri terlebih apabila kita mau membandingkan dengan yang dipunyai oleh perguruan tinggi dunia seperti Oxford. Kalau kita tanya ke semua warga civitas akademika Unhas, apa mereka mau punya impact sebesar Universitas Oxford, Harvard, MIT, dan universitas kelas dunia lainnya, saya yakin sebagian besar kalau tidak semua akan menjawab iya. Bagaimana menjembatani harapan untuk menjadi realitas itulah salah satu tugas besar rektor-rektor Unhas ke depan. Saya menggunakan rektor-rektor, karena saya yakin bahwa untuk mewujudkan Unhas yang memiliki impact yang besar bagi kemanusian membutuhkan waktu yang lama. Seberapa lama itu? Selama waktu yang diperlukan untuk merancang kebijakan visioner dan implementasi efektifnya. Bisa 1-2 dekade, bisa setengah abad, bisa lebih dari se-abad. Oleh karena itu kesinambungan visi dan efektifitas program kerja antar rektor harus harmonis. Intinya, rektor Unhas di masa yang akan datang ketika Unhas sudah mencapai impact yang mendunia akan dengan bangga mengatakan bahwa pencapaiannya dikarenakan mereka “standing on the shoulders of giants” para pendahulunya. Oleh karena itu, penting sekali bagi para rektor Unhas untuk meninggalkan legacy yang fundamental dan substansial yang akan menjadi pijakan-pijakan rektor-rektor selanjutnya untuk mencapai Unhas berdampak universal.

Apa parameter yang dipakai untuk mengetahui Unhas sudah mencapai dampak internasional itu? Saya kira cukup sederhana dan mudah yaitu nama Unhas telah menjadi “household name” di kalangan akademisi and institusi dunia. Kalau ini tercapai, kita sudah tidak perlu kalang kabut memperkenalkan Unhas kepada akademisi-akademisi dunia ketika kita mau dirangking oleh lembaga pemeringkatan universitas dunia, umpamanya.

Legasi apa yang kita harapkan ditinggalkan oleh rektor-rektor Unhas ke depan untuk mencapai “humaniversal impact” ini?

  1. menjaga agar Unhas tetap menjadi tempat kebebasan berpendapat secara umum yang bertanggungjawab, terutama kebebasan dalam berpendapat secara akademik bagi seluruh civitas akademikanya. Unhas jangan pernah melakukan censorship terhadap pendapat, diseminasi pendapat, meski misalnya pendapat itu bersifat politik dan menyinggung kekuasaan politik. Asalkan disampaikan secara bertanggungjawab dan atas nama pribadi, Unhas harus melindungi kebebasan berpendapat itu tanpa memperhatikan apakah itu sesuai atau tidak sesuai dengan kebijakan institusi. Oleh karena itu Unhas harus menguatkan dialog-dialog akademik dalam berbagai bidang untuk menampung dan mewadahi berbagai pemikiran-pemikiran civitas akademiknya termasuk dalam masalah politik sekalipun. Episode yang terjadi di Universitas Indonesia ketika rektorat memanggil BEM karena menyuarakan pendapat politiknya harus dihindari atau dijadikan tabu di Unhas.
  2. menjadikan Unhas sebagai universitas riset yang produktif dan berdampak. Tentu ini tidak akan mudah dan memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit. Bagaimana kita bisa menilai komitmen menjadikan Unhas menjadi universitas riset? Kita harus mulai dari kebijakan anggaran. Unhas memiliki anggaran belanja di tahun 2020 lebih dari 1 trilyun Rupiah. Berapa persen dari anggaran itu dialokasikan untuk memfasilitasi dan membiayai riset? Tentu anggaran riset di Unhas harus disokong oleh Pemerintah dan sektor swasta agar anggaran yang tersedia bisa lebih besar. Namun komitmen institusi harus terlihat dengan kebijakan anggaran riset ini. Riset adalah salah satu langkah utama agar Unhas bisa berdampak ke kemanusiaan yang universal. Unhas harus menghindarkan proses riset yang terburu-buru dan tidak pruden untuk menghasilkan luaran untuk masyarakat meski dilandasi oleh tujuan yang mulia. Saya kira episode kegaduhan yang dihasilkan oleh proses penelitian vaksin Nusantara, obat racikan Covid-19, Genose yang terlalu terburu-buru tanpa evaluasi saintifik yang memadai harus dihindarkan di Unhas. Unhas harus menjunjung tinggi integritas saintifik yang menjadi core/inti kegiatan civitas akademiknya.
  3. Unhas sudah harus memikirkan untuk mengumpulkan dana “endowement” dengan berbagai strategi yang terhormat seperti dengan melakukan diplomasi dan lobby kepada filantrofis, pendonor dan alumni yang mau memberikan bantuan dana untuk membiayai pendidikan dan riset berkelanjutan di masa depan. Dengan dana endowement yang besar, kemungkinan Unhas untuk memurahkan uang SPP mahasiswa, memberi beasiswa untuk calon mahasiswa yang eksepsional bisa dilakukan yang dalam jangka panjang bisa meningkatkan mutu input mahasiswa dan output alumni yang dihasilkan. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah, namun tidak ada seribu langkah tanpa dimulai oleh satu langkah awal.
  4. Unhas harus melakukan perencanaan dan pelaksanaan kerjasama institusi yang lebih efektif dengan berbagai lembaga pendidikan bertaraf nasional dan internasional. Luaran yang dihasilkan harus merupakan tolok-ukur kerjasama ini, bukan jumlah atau kuantitas kerjasama dan MOU yang dihasilkan. Akan lebih bagus jika kerjasama itu lebih operasional dengan hasil atau luaran yang ditargetkan untuk meningkatkan kapasitas Unhas dalam menjalankan Tri Darma Perguruan Tinggi.

Akhir kata, saya mengucapkan selamat berfestival Pemilihan Rektor Unhas 2022-2026, semoga Unhas bisa memilih rektor yang terbaik yang bisa mewariskan legasi yang akan dengan bangga diakui oleh generasi Unhas yang akan datang sebagai “shoulders of giants” yang diletakkan oleh pendahulu-pendahulunya.

Aminuddin Blog: Catatan harapan untuk calon rektor Universitas Hasanuddin 2022-2026: “Standing on the shoulders of giants”

Beradaptasi dengan Covid-19 sebagai penyakit endemik di masa depan

Saya akhir-akhir ini sering bertanya sendiri, kira-kira kapan pandemi Covid-19 ini bisa berakhir. Berapa lama kita akan terus berhadapan dengan buka-tutup kegiatan harian mengikuti fluktuasi laju infeksi yang terjadi. Berapa lama lagi pandemi ini menjadi isu dan gorengan politik para politisi, pemerintah dan oposisi, dan antar anggota masyarakat yang terbelah dari berbagai sisi dan isu. Berapa lama lagi kita akan terus dibanjiri dengan berbagai berita duka meninggalnya orang-orang yang termasuk keluarga dekat, sahabat, teman, dan orang lain di sekitar kita. Pandemi ini telah membuat saya, dan saya yakin banyak orang yang lain menjadi lelah secara fisik dan psikis.

Saya kira banyak orang, termasuk para pakar kesehatan dan epidemiolog berandai-andai sekiranya Pemerintah melakukan lockdown di awal pandemi-meski istilah ini sepertinya berusaha tidak dipakai oleh Pemerintah- mungkin keadaan setelah satu setengah tahun pandemi tidak akan seburuk ini. Mungkin jumlah infeksi, jumlah orang yang meninggal akan jauh lebih sedikit. Kita akan lebih gampang mengendalikan pandemi Covid-19 ini. Tapi ini hanya pengandaian. Pengandaian sebagai hindsight atau tinjauan retrospektif hanya akan memberi informasi dan pelajaran, tidak akan banyak menolong dalam memperbaiki keadaan yang terjadi sekarang. Nasi sudah menjadi bubur. Pengandaian hanya lebih terlihat sebagai penyesalan dan ratapan.

Sebab itu, sekarang kita harus bersikap dan bertindak prospektif, melihat pada masa sekarang dan yang akan datang, bagaimana agar pandemi ini bisa dikendalikan dengan baik. Apa yang harus dijadikan parameter atau ukuran terkendalinya pandemi Covid-19 ini? Secara sederhana adalah jumlah infeksi baru atau angka penularan yang rendah, dan jumlah orang yang harus dirawat, mereka yang meninggal rendah dan terkontrol. Apakah kita bisa meniadakan Covid-19 dalam jangka pendek, katakanlah dalam waktu 3-5 tahun ke depan? Saya kira agak sulit, meski tidak ada kata tidak mungkin. Para ahli kesehatan banyak yang berpendapat bahwa Covid-19 ini akan bertransformasi dari pandemi menjadi endemi di daerah-daerah tertentu, terlebih jika virusnya terus mengalami mutasi atau perubahan genetik yang berpengaruh terhadap sifat-sifat biologiknya. Sama seperti flu yang terus ada di berbagai negara dan daerah, menjadi ancaman musiman karena kemampuan virusnya yang melakukan perubahan-perubahan genetik sehingga vaksin flu juga harus selalu diperbaharui setiap tahun.

Bagaimana kita menyesuaikan diri dengan ancaman virus Covid-19 ini? Yang pertama adalah menurunkan penyebaran dan angka infeksi. Melakukan PPKM, PSBB atau nama apapun yang mau dipakai oleh Pemerintah adalah instrumen yang penting pengendalian penyebaran infeksi. Buka-tutup, pembatasan-pembukaan/relaksasi kegiatan masyarakat mungkin perlu dilakukan berkali-kali sebagai tindakan responsif. Skalanya bisa pulau, provinsi, kabupaten-kota, atau tingkat mikro. Karena sifatnya responsif, maka baru dilakukan jika angka infeksi menunjukkan tanda peningkatan. Tentu penilaian ahli kesehatan dan epidemiolog penting untuk memutuskan ini. Yang kedua, vaksinasi massal dipercepat sampai mencapai tingkat imunitas kelompok yang memadai. Ada yang berpendapat tingkat imunitas kelompok ini dicapai sebaiknya dengan angka vaksinasi jangan kurang dari 80 persen penduduk. Apakah cakupan 80 persen vaksinasi ini akan melenyapkan infeksi? Kemungkinan besar tidak akan melenyapkan infeksi Covid-19, tapi akan mengurangi angka kesakitan dan kematian. Dengan demikian diharapkan Covid-19 ini akan bersifat seperti flu biasa, meski masih ada ancaman sporadis dengan masa-masa puncak di waktu tertentu, namun lebih gampang dikendalikan.

Ketiga, kebiasaan hidup sehat dengan protokol kesehatan seperti kebiasaan cuci tangan dengan sabun, memakai masker (mungkin akan berubah nantinya hanya dipakai pada saat sakit jika pandemi ini sudah bisa dikendalikan), mengkonsumsi makanan yang sehat bergizi, dan olahraga harus diteruskan sehingga menjadi kebiasaan atau budaya kolektif masyarakat. Dari data-data sementara di banyak negara, angka infeksi flu dan pilek selama pandemi Covid-19 ini menurun tajam yang mungkin diakibatkan oleh kebiasaan hidup bersih dan sehat ini.

Ada dua fenomena atau fakta yang saya lihat sangat menonjol untuk kita sadari dari pandemi Covid-19 ini di Indonesia. Pertama, orang Indonesia menunjukkan solidaritas terhadap sesama yang sangat tinggi terutama kepada mereka yang sakit dan mereka yang terdampak secara ekonomi dari pandemi ini. Saya kira kita patut mensyukuri hal ini, karena negeri kita ini masih belum memiliki social safety net yang memadai berhadapan dengan pandemi sebesar ini. Banyaknya anggota masyarakat yang membantu mereka yang terdampak menyentuh hati kita, membuat kita optimis sebagai bangsa dan masyarakat bisa melalui ini secara bersama-sama. Keriuhan dan perpecahan yang ditimbulkan oleh politisasi pandemi oleh sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab, sama sekali tidak menyurutkan kohesi masyarakat di akar rumput.

Yang kedua adalah fakta bahwa sistem kesehatan kita sangat jauh dari memadai dalam menghadapi krisis kesehatan sebesar Covid-19 ini. Jumlah kematian pasien dan tenaga kesehatan yang tinggi, kelangkaan obat dan oksigen, kapasitas surveilans penyakit menular yang rendah, ketimpangan sumber daya kesehatan antara pulau Jawa dan luar jawa, berbagai isu dan kegaduhan publik tidak perlu seperti vaksin Nusantara, Genose, obat dan pengobatan Covid-19 yang kurang landasan saintifik yang diadopsi oleh Pemerintah menjadi petunjuk terang benderang bahwa masih banyak pekerjaan rumah membangun sistem kesehatan kita ke depan. Bahwa kita harus menjadikan sains dalam mengambil kebijakan apapun terutama dalam bidang kesehatan adalah pesan penting yang bisa kita petik dari pandemi ini.

Aminuddin Blog: Beradaptasi dengan Covid-19 sebagai penyakit endemik di masa depan

Sedikit tentang p-Hacking dan Sitasi Diri (Self-Citation) dalam Penelitian: Ranjau Dosen dan Peneliti

Budaya meniliti di kalangan dosen dan peneliti Indonesia sudah mulai kelihatan tumbuh cukup baik terbukti dari jumlah paper yang dipublikasi meningkat cukup tinggi sejak empat tahun belakangan ini (sejak 2016) (https://sinta.ristekbrin.go.id/). Fenomena ini tidak lepas dari kebijakan Kemenristek-Dikti (waktu itu) yang mendorong dan memberi insentif bagi para dosen dan peneliti melakukan penelitian dan publikasi. Terlihat pula peningkatan dana hibah penelitian yang dibagikan kepada dosen dan peneliti secara kompetitif. Dari segi kuantitas publikasi, Indonesia melaju kencang relatif terhadap negara-negara di Asia Tenggara yang lain, meski dari segi kualitas masih perlu banyak perbaikan dan peningkatan.

Masalah kualitas penelitian ini memang perlu waktu yang relatif lama untuk meningkatkannya secara bertahap. Perlu kombinasi kebijakan dan insentif yang kreatif dan inovatif dalam pembinaan kualitas penelitian dan publikasi yang menjadi tugas bersama berbagai pemangku kebijakan. Namun ada setidaknya dua hal yang terkait persepsi kualitas publikasi ilmiah seorang dosen atau peneliti yang perlu diwaspadai karena dalam jangka panjang malah bisa mencederai reputasi. Kedua hal tersebut adalah bias hasil positip (positive result) dan jumlah sitasi paper (paper citation). Meski kedua masalah ini tidak bisa diselesaikan semata di tingkat individu dosen dan peneliti, namun kesadaran tentangnya perlu dimiliki bersama. Kenapa dua hal ini perlu diwaspadai?

Bias hasil positip adalah fenomena yang terbangun sistematis dimana jurnal ilmiah (begitupula dosen dan peneliti) cenderung mempublikasikan hasil penelitian yang positip atau hasil penelitian dimana hipotesis penelitian terbukti, ditandai dengan (secara sederhana) nilai p < 0.05 atau p < 0.01. Ini memberi insentif secara tidak sadar terhadap perilaku p-hacking (pembajakan nilai p). Perilaku pembajakan nilai p ini bisa dilakukan dengan berbagai cara manipulatif agar hasil pengujian data menjadi signifikan atau berarti secara statistik.

Pembajakan nilai p ini bisa dilakukan dengan berbagai bentuk dan manifestasinya: melakukan analisa data sementara proses pengumpulan data masih berlangsung, jika hasil sementara sudah menunjukkan signifikansi maka proses penelitian dihentikan di tengah jalan; mengumpulkan banyak variabel namun hanya melaporkan variabel tertentu pasca analisa data (post analysis); melakukan berbagai perubahan-perubahan bagaimana suatu kelompok data (data set) dianalisa agar menghasilkan p yang signifikan (p-hacking in science). Yang lebih parah jika peneliti, dosen, atau mahasiswa mengubah nominal data-data yang diperoleh atau memasukkan angka-angka palsu dan rekaan untuk mendapatkan hasil yang signifikan.

Berapa banyak praktek pembajakan nilai p ini dilakukan oleh peneliti? Jangan kaget, praktek ini ditengarai sangat luas dilakukan oleh peneliti, bukan saja di Indonesia, bahkan dunia sekalipun (p-hacking in science). Namun dalam bidang ilmu kesehatan dan biologi dan mungkin bidang ilmu yang lain, hal ini bisa dideteksi melalui meta-analysis dengan membanding effect-size dari berbagai penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Dengan cara ini, bisa ditunjukkan bahwa kemungkinan efek pembajakan nilai p terhadap konsensus ahli melalui studi meta-anaylisis tidak terlalu mengkhawatirkan. Bagaimana ini bisa dilakukan, Anda bisa membaca dengan detail di link yang diberikan di atas.

Namun apa yang harus dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi dan penelitian jika dosen, peneliti, dan mahasiswa melakukan pembajakan nilai p ini? Sampai saat ini saya sendiri belum mendapatkan kejelasan. Ini mungkin dikembalikan kepada integritas keilmuwanan para peneliti dan dosen dalam menjaga integritas ilmu dan institusinya. Namun sebaiknya ada aturan khusus yang dibuat oleh Pemerintah, minimal institusi pendidikan dan penelitian mengenai masalah ini.

Hal yang kedua adalah sitasi diri atau self-citation. Hampir semua institusi pendidikan dan penelitian, bahkan lembaga pemberi dana penelitian, serta penghargaan sejawat (peer) dalam menilai kualitas peneliti dan dosen, salah satunya dari jumlah sitasi yang bersangkutan. Jumlah sitasi menunjukkan jumlah atau berapa kali paper seseorang telah dikutip oleh penelitian atau paper yang lain. Sitasi diri adalah apabila seorang peneliti atau kelompok peneliti mensitasi karya atau paper sendiri yang telah terbit sebelumnya. Sebenarnya bukanlah masalah atau wajar jika seorang atau sekelompok peneliti mengutip beberapa paper sendiri dalam papernya. Namun bayangkan jika salah satu papernya memiliki referensi 40, dan 30 diantaranya adalah paper dia atau kelompoknya sendiri?

Memang kita tidak bisa langsung menghakimi bahwa tindakan tersebut salah, kita perlu melakukan penilaian secara kasus per kasus. Ada bidang ilmu tertentu seperti misalnya fisika nuklir (inti) dimana satu paper bisa ditulis oleh puluhan bahkan lebih dari lima ribu penulis (Paper Fisika). Kalau karya seminal atau sangat berpengaruh dihasilkan oleh sekelompok peneliti, dan kebetulan ditulis oleh banyak orang, maka bayangkan jika masing-masing peneliti yang banyak itu mempublikasikan paper yang lain dan mengutip paper yang seminal itu? Berapakah self-citation yang mungkin terjadi?

Jadi menilai self-citation itu harus kasus per kasus. Kalau misalnya ada seorang peneliti memiliki sitasi 1000 dan 800 diantaranya adalah sitasi dirinya sendiri (80%) maka tentulah ini perlu diselidiki dengan seksama. Namun harus diakui bahwa sampai saat ini belum ada aturan baku mengenai jumlah sitasi diri yang wajar. Yang sering mendapat sorotan adalah adanya praktek sitasi melanggar seperti sitasi kosong dan ternak sitasi (citation farm).

Sitasi kosong adalah praktek dimana seseorang mensitasi penelitian baik diri sendiri maupun orang lain (biasanya sejawat dekat) yang sama sekali penelitiannya tidak relevan. Bayangkan misalnya ada penelitian tentang penyakit jantung di rumah sakit dan mengutip penelitian tentang budidaya mete. Kedengarannya aneh, tapi itu bisa saja terjadi. Meski contoh yang saya berikan adalah fiktip, namun kasus yang kurang lebih sama cukup banyak terjadi di negeri 62.

Ternak sitasi (citation farm) adalah perilaku sekelompok peneliti atau dosen baik dalam institusi yang sama atau berbeda yang melakukan kerjasama sitasi sehingga mereka memastikan satu sama lain saling mensitasi tidak secara alamiah, namun dilakukan bagaikan konser musik. Praktek ini memang akan mendongkrak sitasi dosen dan penelti namun karena ini dilakukan secara tidak alamiah maka menghasilkan apa yang disebut inflasi sitasi. Ini sebenarnya sangat rawan, mudah diketahui dan merupakan rekayasa yang tidak wajar, meski paper yang disitasi cukup relevan. Ada wacana yang berkembang di kalangan ilmuwan yang menganggap praktek sitasi diri yang berlebihan ini sebagai praktek promosi diri (self-promotion) yang konotasinya negatif.

Praktek ternak sitasi ini harus dihindari semaksimal mungkin oleh akademisi tanah air meski bekerja dalam tuntutan sitasi oleh institusi pendidikan tinggi dan penelitian dalam rangka akreditasi. Disadari atau tidak, sistem insentif akreditasi perguruan tinggi yang mengikutkan penilaian jumlah sitasi dosen tanpa penulusuran yang seksama akan mendorong terjadinya ternak sitasi seperti ini. Hal ini dalam jangka panjang justeru akan menurunkan reputasi ilmuwan dan publikasi penelti dan dosen Indonesia. Maka biarkanlah sitasi publikasi ilmiah secara alamiah, sealamiah peningkatan reputasi dan kedudukan perguruan tinggi di mata masyarakat awam dan masyarakat ilmiah baik nasional maupun internasional. Tidak ada jalan pintas menuju kedudukan Harvard, Oxford University atau ivy league lainnya di dunia.

Aminuddin Blog: Sedikit tentang p-Hacking dan Sitasi Diri (Self-Citation) dalam Penelitian: Ranjau Dosen dan Peneliti

Mendalami Kesahihan Opini Mohammad Nasih Terkait Inovasi “Obat Unair” Untuk Covid-19

Rektor Universitas Airlangga (Unair), Prof. Mohammad Nasih menuliskan opininya di Jawa Pos yang berjudul “Inovasi atau Terjajah Kembali”1 yang sepertinya ditujukan untuk memberikan perspektif kenapa “kita” masyarakat Indonesia, seyogyanya menerima racikan obat Covid-19 Unair ini tanpa perlu ribut-ribut. Tentu “kita” di sini termasuk para klinisi, dokter, peneliti, dan seluruh komunitas ilmiah Indonesia. Bagi Prof. Nasih, kontroversi terhadap hal yang baru itu adalah sunnatullah atau sesuatu yang wajar. Yang penting racikan obat ini jangan dipersulit administrasi, segera keluar izinnya oleh BPOM, maka tujuan Unair berkontribusi secara “meaningful for society” tercapai.

Prof. Mohammad Nasih, Rektor Universitas Airlangga, foto dari Jawa Pos

Mengapa opini tersebut  relevan bagi beliau untuk dituliskan? Karena nampaknya pengumuman 2 efektifitas tentang uji klinis racikan obat tersebut memicu kontroversi setidaknya di kalangan ilmiah. Kontroversi ini dikarenakan pengumuman tersebut tidak ditunjang dengan transparansi data uji klinis yang konfrehensif yang lazim dilakukan sebelum rekomendasi klinis atau rejimen obat bisa dipakai dalam penanganan klinis penyakit. Kalangan ilmiah tentu saja menganggap pengumuman itu hanya sebatas klaim sebelum terbukti sahih dengan melewati review sejawat keahlian (peer review). Review sejawat ini bisa dilakukan dengan publikasi di jurnal yang bereputasi, bisa juga dilakukan secara terbuka oleh kalangan ilmiah bahkan masyarakat umum sekalipun yang berminat,  dengan menyediakan laporan atau manuskrip lengkap uji klinis tersebut di domain publik dalam bentuk pre-print di berbagai flatform yang tersedia secara gratis. Publikasi pre-print ini bisa dilakukan dengan sangat cepat sehingga diseminasi hasil penelitian bisa segera diakses oleh kalangan ilmiah bahkan masyarakat awam yang tertarik. Tidak diketahui mengapa Tim Unair belum melakukan publikasi ini, padahal hal ini bisa menjadi upaya pre-emptive mencegah gonjang-ganjing seandainya dilakukan sebelum pengumuman resmi tersebut.

Tujuan tulisan ini membatasi hanya memberikan tanggapan terhadap opini Prof. Mohammad Nasih per paragraf untuk menunjukkan tingkat kesahihan atau barangkali kefasihan pendapat beliau dari perspektif saya pribadi. Tulisan tersebut bisa diinterpretasi sebagai usaha beliau sebagai stakeholder penelitian Unair dalam menjustifikasi kedudukan dan arti penting temuan tersebut dalam upaya penanggulangan Covid-19. Tulisan ini bermaksud menanggapi framing imaji dan perspektif yang dicoba dibangun melalui tulisan opini tersebut.

Tulisan beliau akan saya tampilkan dalam tanda “ “ dan ditulis italic berspasi satu untuk membedakannya dengan tulisan saya. Paragraf yang ditampilkan tidak semuanya, hanya yang saya anggap penting dari tulisan tersebut.

Beliau menulis:

Pandemi Covid-19 benar-benar telah merampas kemerdekaan kita beberapa bulan terakhir. Tidak hanya merampas kemerdekaan kita di dan bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa-bangsa lain di seluruh penjuru dunia. Kehidupan seolah dipaksa kembali ke era sebelum kemerdekaan atau yang lebih dikenal sebagai era penjajahan atau imperialisme yang penuh ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, ketidakadilan, kemiskinan, dan tentu ketergantungan serta hegemoni.

Seperti dahulu kala bangsa ini mengusir penjajah, diperlukan kontribusi nyata dan kerja sama dari semua elemen bangsa agar negeri ini secepatnya merdeka dari pandemi korona. Bukan hanya ”rakyat” yang diajak perang gerilya. Ataupun prajurit yang harus berada di garis paling depan dan berhadapan langsung dengan musuh.

Tetapi juga para patih dan raja, para komandan, politisi dan pegiat, serta komunitas profesi, kalangan ahli, akademisi, dan pasti para cerdik pandai.

Kerja sama dan bahu-membahu antarkomponen bangsa adalah suatu keniscayaan. Tanpa kerja sama antarkomponen bangsa, kemerdekaan Indonesia, mungkin, tak akan pernah diproklamasikan. Perguruan tinggi sebagai markas para akademisi dan ahli tentu juga harus berperan secara aktif dan strategis dalam penanganan pandemi ini agar merdeka dari pandemi dapat segera diproklamasikan”

Prof. Nasih di awal-awal paragraf berusaha mengibaratkan keadaan pandemi Covid-19 yang kita alami sama dengan kaadaan sebelum Indonesia merdeka, atau lebih tepatnya zaman Perang Kemerdekaan kalau melihat isi tulisan diparagraf tersebut, dimana semua komponen bangsa bersatu padu berjuang untuk merdeka lepas dari penjajahan. Mungkin pengibaratan ini lebih condong kepada konteks perayaan hari Kemerdekaan RI yang ke-75 dibanding substansi dan tingkat kedaruratan kedua kejadian ini.  Tidak heran, tulisan ini dimuat pada tanggal 17 Agustus. Prof. Nasih mencoba membangkitkan sentimen heroisme pembaca dalam melihat pencapaian penelitian tim Unair ini meski kedua hal yang dibandingkan ini pada hakikatnya sangat berbeda. Saya kira titik poin dari paragraf awal ini adalah penekanan kedaruratan atau emergency dari situasi saat ini yang menjustifikasi perlunya keterlibatan seluruh komponen bangsa, kalau perlu secepat-cepatnya agar masyarakat bisa terlepas dari belenggu penjajahan virus Covid-19.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pengibaratan itu. Tujuannya jelas adalah membangkitkan sentimen emosi dan kedaruratan keadaan sekarang.  Yang kurang tepat jika kemudian situasi kedaruratan Covid-19 ini dijadikan alasan untuk menerima hasil uji klinis tanpa melakukan kritik ilmiah, tanpa meminta transparansi data. Bukankah itu sama saja “menjajah” komunitas ilmiah dengan meminta mereka menanggalkan prosedur baku dan lazim dalam menilai kesahihan hasil penelitian?

Kedaruratan bukan menjadi alasan untuk tidak memberikan komunitas ilmiah kemerdekaan meminta transparansi data sekaligus menelaah kesahihan uji klinis yang dilakukan. Bukankah dalam keadaan perang sekalipun, para pejuang harus bersatu dan bermusyawarah merumuskan strategi perang yang akan dijalankan? Terlebih musyawarah ini menyangkut nasib dan kemenangan atas musuh bersama.

 Selanjutnya beliau menulis

Dalam jangka panjang Universitas Airlangga (Unair) berkomitmen untuk berkontribusi dalam menghasilkan vaksin yang spesifik dan sesuai dengan isolate Indonesia. Aksi nyata untuk mendapatkan vaksin tersebut saat ini tetap berjalan meski tidak sedikit hambatan. Sedangkan dalam jangka menengah, komitmen Unair yang salah satu pilar strateginya adalah meaningful research and community development ialah mendapatkan obat baru yang secara spesifik merupakan antiviral SARS-CoV-2 atau coronavirus strain Indonesia. Dalam jangka panjang, diharapkan akan tercipta kemandirian obat dan Indonesia merdeka dari bergantung kepada bangsa lain”

Tujuan menciptakan vaksin yang spesifik dan sesuai dengan isolate Indonesia menurut saya adalah pernyataan yang kurang sahih dilihat dari kemaknaan santifiknya. Vaksin Covid-19 tidak membutuhkan isolate spesifik suatu region atau daerah tertentu, karena sampai saat ini, boleh dikatakan virus Covid-19 dimana saja pada hakikatnya secara genomik tidak ada perubahan yang signifikan meski diketahui ada laporan terjadinya mutasi. Meski ada kecurigaan bahwa ada mutasi yang berimplikasi terhadap kemudahan penularan, namun implikasinya terhadap pembuatan vaksin yang spesifik sampai saat ini tidak terlalu dikhawatirkan. Nyatanya Pemerintah kita malah mengimpor vaksin Sinovac dari China yang sementara diuji klinis di Indonesia. Mutasi virus adalah suatu keniscayaan karena proses kesalahan replikasi, bahkan di Indonesia sendiri sebagaimana yang ditampilkan di Gisaid (17 Genome yang telah diserahkan dari Indonesia) tampak ada perbedaan clade antar genome tersebut. Jadi isolate mana yang dimaksud Prof. Nasih mengingat kemungkinan mutasi akan terus bertambah? Demikian juga tujuan mendapat obat virus baru untuk coronavirus strain Indonesia juga akan semakin aneh karena obat biasanya bekerja dengan berinteraksi ditingkat molekul yang lebih besar seperti protein (reseptor, enzim dan lain-lain) dan efek mutasi lebih bersifat nuance atau seringkali bisa diabaikan secara umum.

Beliau melanjutkan:

“Dalam jangka superpendek, pada mulanya penelitian regimen kombinasi obat ”hanya” dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi tentang kombinasi obat apa saja yang dapat digunakan dokter agar pasien positif korona dapat disembuhkan lebih cepat. Penelitian itu sudah dirancang sejak April 2020. Salah satu dasar pemikirannya adalah belum ada obat yang secara spesifik berfungsi sebagai antivirus SARS-CoV-2. Obat-obat yang beredar selama ini adalah obat untuk antiviral virus lain……………..Hasilnya, dari 1.127 subjek yang diperiksa, baik fisik maupun laboratorium, terdapat 754 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah tersebut lebih banyak dari yang diminta BPOM, yakni 696. Setelah mendapatkan penanganan sesuai protokol uji klinis, diperoleh hasil yang sangat menggembirakan dan sekaligus menjanjikan. Jika pada kelompok kontrol (SoC) pada hari ketiga jumlah subjek yang ”sembuh” atau PCR-nya menjadi negatif hanya 26,89 persen, pada kelompok lain yang mendapatkan obat kombinasi justru mencapai 90,24 persen hingga 98,45 persen. Sedangkan pada hari ketujuh, kelompok SoC yang negatif hanya 30,26 persen dan pada kelompok lain mencapai 93,50 persen hingga 98,45 persen. Dari data statistik tersebut dapat disimpulkan, kombinasi obat yang oleh BPOM dianggap sebagai ”obat baru” karena ada perluasan indikasi sangat efektif untuk digunakan”

Paragraf panjang di atas pada prinsipnya berisi penjelasan penelitian berupa  efektifitas racikan obat Unair untuk melawan virus Covid-19 mulai dari penelitian in-vitro sampai pada uji klinis. Sampai saat ini baik penelitian in-vitro maupun uji klinis, sama sekali belum ada publikasi yang bisa diakses oleh komunitas ilmiah, padahal untuk penelitian in-vitro sudah dilakukan sejak lama. Inilah yang ramai diperbincangkan oleh komunitas ilmiah di tanah air, didasari keinginan mereka secara obyektif dan merdeka mengevaluasi penelitian yang dilaksanakan. Tentu mereka ingin tahu apakah kesimpulan yang ditetapkan oleh tim peneliti sudah sesuai dengan proses ilmiah, mulai dari metode, pengumpulan dan analisis data, serta interpretasi hasil. Ini bukanlah suatu tuntutan yang berlebihan, justeru kalau komunitas ilmiah tidak meminta transparansi,  akan menjadi aneh bahkan bisa dituduh konspiratif. Tanpa pertanggungjawaban proses ilmiah, maka segala macam pengumuman tentang efektifitas racikan obat tersebut tidak ubahnya hanya sebatas opini dan klaim. Apa bedanya dengan klaim Hadi Pranoto yang mengaku menemukan obat herbal antibodi Covid-19?

Secara teknis, kita masih belum bisa memberikan penilaian yang konfrehensif terhadap penilitian dan uji klinis tim Unair ini, sebelum kita bisa mengakses laporan penelitian lengkap atau manuskrip paper untuk publikasinya. BPOM diberitakan telah melakukan evaluasi laporan uji klinis dan sampai pada kesimpulan adanya temuan kritis yang mendasari ketidakvalidan hasil dan interpretasi peneliti.

Beliau melanjutkan:

“Di sisi lain, karena sepengetahuan saya belum ada obat antiviral yang secara spesifik untuk SARS-CoV-2, temuan penelitian ini dapat diklaim sebagai yang pertama di dunia. Hal tersebut tentu akan berdampak sangat nyata bagi pandangan dan pengakuan dunia terhadap Indonesia. Tentu ini harus dilakukan dengan lebih cepat karena bangsa-bangsa lain pasti juga sedang berlomba untuk mendapatkan obat dan atau vaksin SARS-CoV-2.”

Sejauh ini baru Remdesivir yang telah terbukti bermamfaat sebagai antivirus SARS-CoV-2 melalui serangkaian uji klinis, salah satunya yang diumumkan oleh National Institute of Health (NIH) di AS. 3 4 Remdesivir dibuktikan bisa mempercepat kesembuhan pasien covid-19 dibanding placebo. Jadi klaim Prof. Nasih bahwa belum ada obat antiviral spesifik untuk virus Covid-19 tidak benar.

Pengakuan terhadap capaian ilmiah suatu institusi dalam suatu negara hanya bisa dicapai jika temuan ilmiah itu bisa teruji dan diakui oleh komunitas ilmiah internasional alias data-data dan laporan penelitian itu bisa dibagi dalam bentuk publikasi di jurnal maupun pertemuan-pertemuan ilmiah. Reputasi dan pengakuan dunia tidak akan datang hanya karena pengumuman sepihak yang tidak bisa dinilai atau dibuktikan, meski yang mengumumkan adalah pejabat negara manapun. Presiden AS saja, Donald Trump yang mengumumkan dukungannya terhadap pemakaian hydroxychloroquine secara luas untuk pasien Covid-19 dibantah oleh banyak ahli kesehatan, termasuk oleh Anthony Fauci seorang ilmuwan infeksi dunia terkemuka, yang notabene adalah ilmuwan yang dipekerjakan AS di NIH dan menjadi penasehat presiden-presiden AS.

Beliau menyimpulkan:

“Bahwa akan ada pro dan kontra itu pasti. Sudah sunatullah. Hukum alam. Ada pro ada kontra. Jangankan pada era seperti saat ini yang informasi sangat terbuka dan mudah menyebar. Inovasi dan temuan Jenderal Besar Sudirman yang menginisiasi perang gerilya pun ada yang pro dan kontra. Bahkan, proklamasi kemerdekaan pun menjadi pro dan kontra. Mereka-mereka yang mendapatkan banyak keuntungan dari penjajah pasti kontra dan menentang proklamasi.

Respons dari pihak yang berwenang terhadap kelanjutan hasil uji klinis ini merupakan jawaban atas pertanyaan apakah Covid-19 itu rekayasa dan konspirasi atau tidak. Respons yang lambat dan bahkan cenderung menghalang-halangi dengan alasan etis maupun birokrasi dan administrasi merupakan bukti bahwa ada konspirasi. Bagaimana orang merespons hasil penelitian ini menunjukkan dengan sangat nyata di mana yang bersangkutan memilih posisi dan ke mana berpihak. Bismillah. Allahu Akbar. Merdeka! (*)”

Menurut saya, di dua paragraf terakhir inilah letak kegagalan epik framing yang dilakukan oleh Prof. Nasih. Beliau secara implisit mengimplikasikan seakan-akan pihak yang kontra terhadap hal-hal yang sesungguhnya baik (baca: obat Unair) adalah mereka yang mendapat keuntungan dari sikap kontra itu. Secara tidak langsung bisa dimaknai bahwa siapa saja yang kontra terhadap temuan Unair setali tiga uang dengan para pengkhianat bangsa yang kontra terhadap perjuangan kemerdekaan. Mungkin ini interpretasi yang keterlaluan dari tulisan beliau, tapi banyak orang akan sampai pada kesimpulan yang sama jika mencoba memaknai paragraf tersebut.

Lebih militan lagi, prof. Nasih seakan-akan memberikan ultimatum bahwa hambatan administratif, etik, dari pihak berwenang terhadap kelanjutan hasil penelitian alias izin produksi dan peredaran, serta pemakaian obat Unair adalah bukti adanya konspirasi. Ultimatum ini mirip dengan yang diungkapkan George W. Bush ketika akan menyerang Iraq setelah peristiwa 11 September 2001 kepada seluruh dunia “ You are with us or against us”. Prof Nasih dengan penuh keyakinan menyatakan kepada kita semua, kebenaran ilmiah sudah pasti ada pada Tim Peneliti Unair, karena mereka punya misi mulia menyelamatkan bangsa ini dari penjajahan virus covid-19. Kita tinggal percaya dan mendukung, itulah sikap patriotisme yang diharapkan.

Publikasi data bukan hal yang prioritas dari uji klinis, tapi untuk mendapatkan izin BPOM untuk obat Unair agar bisa segera digunakan dalam mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Begitulah kira-kira visi dari Tim Peneliti uji klinis Unair yang diamini oleh Prof. Mohammad Nasih.

Wallahu a’lam bisshawab

Referensi

1.        Inovasi atau Terjajah Kembali. Available at: https://www.jawapos.com/opini/17/08/2020/inovasi-atau-terjajah-kembali/. (Accessed: 19th August 2020)

2.        Obat Covid-19 Temuan Unair Disebut Punya Efektivitas Hingga 98 Persen – Nasional Tempo.co. Available at: https://nasional.tempo.co/read/1376287/obat-covid-19-temuan-unair-disebut-punya-efektivitas-hingga-98-persen. (Accessed: 19th August 2020)

3.        NIH clinical trial shows Remdesivir accelerates recovery from advanced COVID-19 | National Institutes of Health (NIH). Available at: https://www.nih.gov/news-events/news-releases/nih-clinical-trial-shows-remdesivir-accelerates-recovery-advanced-covid-19. (Accessed: 19th August 2020)

4.        Beigel, J. H. et al. Remdesivir for the Treatment of Covid-19 — Preliminary Report. N. Engl. J. Med. (2020). doi:10.1056/nejmoa2007764

Aminuddin Blog: Mendalami Kesahihan Opini Mohammad Nasih Terkait Inovasi “Obat Unair” Untuk Covid-19

Rektor Asing dan Impian Perguruan Tinggi Kelas Dunia: Mungkinkah?

Wacana Rektor Asing dalam Bayang-Bayang Target Perguruan Tinggi Kelas Dunia

Wacana rektor impor yang diangkat oleh Menristekdikti Prof. M. Nasir menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Tak kurang dari kalangan legislator, dosen, rektor perguruan tinggi, dan kalangan masyarakat banyak yang ikut melontarkan tanggapan terhadap wacana tersebut. Ada yang pesimis, ada yang hati-hati, ada pula yang mendukung gagasan mengimpor rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi di Indonesia.(1–3) Presiden Joko Widodo dikabarkan sudah menyetujui kebijakan rektor asing tersebut mulai diberlakukan tahun 2020. Rencana akan diadakan percontohan di 2-5  perguruan tinggi yang dipimpin oleh rektor asing dalam kurun waktu 2020-2024, bisa di perguruan tinggi negeri atau swasta, namun Menristekdikti mengakui bahwa perguruan tinggi yang paling siap sebenarnya adalah yang memiliki status PTNBH (perguruan tinggi negeri berbadan hukum) yang saat ini baru berjumlah 11 di seluruh Indonesia.

Kontroversi terhadap wacana ini memang wajar, mengingat mekanisme bagaimana ini diterapkan masih belum jelas. Adalah suatu hal yang janggal, jika sebuah wacana kebijakan telah dilemparkan ke publik, namun kerangka kerja dan mekanisme penerapannya belum disiapkan. Terlebih berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) seperti perguruan tinggi nampaknya belum dilibatkan atau belum diminta tanggapannya secara resmi mengenai rencana ini. Jadilah wacana ini bagai sebuah bola liar yang bisa digoreng ke berbagai arah oleh berbagai pihak sesuai dengan perspektif masing-masing. Apakah ini merupakan sebuah kesengajaan dari Pemerintah untuk “testing the water”?

Apa maksud kebijakan rektor asing yang digagas Kemenristekdikti? Meski masih wacana, kebijakan ini nampaknya bertujuan untuk meningkatkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia pada lembaga pemeringkatan perguruan tinggi dunia. Lembaga pemeringkatan yang mana? Menristekdikti tidak pernah menyebut lembaga pemeringkatan tertentu secara jelas sebagai patokan. Beliau cuma mengatakan bahwa rektor asing akan ditantang untuk membawa peringkat perguruan tinggi yang dipimpinnya untuk masuk peringkat 200, lalu 150, dan akhirnya bisa masuk peringkat 100. Kapan itu direncanakan tercapai juga masih belum jelas. Mengingat kebijakan ini akan diujiterapkan pada periode 2020-2024, maka dapat diasumsikan bahwa target tersebut harus dicapai dalam kurun waktu paling lama 4 tahun. Sebuah tantangan yang sangat berat bagi rektor asing kalau memang benar demikian. Nanyang Technological University (NTU) yang diambil Menristekdikti sebagi contoh saja, membutuhkan waktu lebih dari tiga dekade untuk memperoleh peringkat dan kedudukannya sekarang. Wajar jika ada pendapat yang mengatakan bahwa solusi rektor asing untuk meningkatkan peringkat perguruan tinggi sepertinya adalah tawaran solusi yang instan. Bukan berarti hal ini suatu hal yang mustahil, namun saya kira tak banyak orang yang mau percaya bahwa target tersebut bisa dicapai dalam kurun waktu yang sangat dengan kondisi sistem riset dan pendidikan tinggi yang sekarang.

Dari yang diberitakan, ada tiga lembaga pemeringkatan yang dijadikan patokan oleh Kemenrsitekdikti untuk menjadi target bagi rektor asing nantinya, yaitu QS World University Ranking, Times Higher  Education (THE) Ranking, Shanghai Jiatong University/Center for World University Ranking (CWUR).(4)

Posisi perguruan tinggi Indonesia jauh lebih baik di pemeringkatan QS World University Ranking dibanding di dua lembaga pemeringkatan yang lain, sehingga kemungkinan besar inilah yang dijadikan acuan oleh Menristekdikti dalam komentar-komentar beliau di publik dan media massa dengan menyebut target peringkat yang dibebankan ke rektor asing. Perlu dipahami, setiap lembaga pemeringkatan memiliki metode yang berbeda dalam menilai kualitas dan kinerja perguruan tinggi, sehingga peringkat suatu perguruan tinggi bisa sangat berbeda antar lembaga pemeringkatan.

Sebenarnya, perbaikan kualitas perguruan tinggi memerlukan kerja dan kebijakan yang kompleks, menyertakan berbagai level dan sektor mulai dari Pemerintah pusat sampai daerah, level kementerian hingga level perguruan tinggi dan jajarannya. Di level kementerian, tidak dapat dipungkiri bahwa Kemenristekdikti telah melakukan upaya dan kebijakan yang baik selama beberapa tahun terakhir. Upaya memacu dosen untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi dengan meningkatkan dana riset adalah salah satu contohnya. Namun nampaknya Kemenristekdikti masih belum cukup puas dengan perbaikan kinerja dan prestasi perguruan-perguruan tinggi yang telah dicapai. Ada kesan bahwa perguruan tinggi harus lebih cepat berlari dan berkinerja agar segera bisa masuk kategori universitas kelas dunia dengan parameter masuk peringkat 100 besar lembaga pemeringkatan tertentu. Saya melihat wacana rektor asing ini melulu soal bagaimana perguruan tinggi bisa segera masuk peringkat 100 ini. Rektor asing dikesankan adalah jawaban atas semua persoalan yang menyebabkan lambatnya pergerakan perguruan tinggi Indonesia menuju perguruan tinggi kelas dunia. Hal ini saya kira merupakan oversimplifikasi dari persoalan yang ada.

Rektor Asing, Privilege, dan Fleksibilitas Regulasi Pendidikan Tinggi

Rektor sangat bisa diibaratkan sebagai manajer sebuah perguruan tinggi yang dipimpinnya. Sebuah perguruan tinggi hanya adalah salah satu komponen dari sebuah lingkungan atau milieu sistem pendidikan tinggi  yang diatur oleh Kemenristekdikti sehingga apapun yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan rektor merupakan subyek regulasi, pengawasan dan evaluasi Kementerian, terlebih untuk perguruan tinggi negeri. Kalau diharapkan rektor asing bisa melakukan terobosan-terobosan dengan kebijakan ala manajer atau CEO perusahaan, apakah regulasi dan berbagai UU yang ada dan akan dibuat bisa fleksibel untuk mengakomodasinya? Kalau iya, kenapa harus rektor asing yang diberi keistimewaan fleksibilitas seperti itu? Kalau sebaliknya tidak diberi fleksibilitas, tentu rektor asing juga akan terikat sebagaimana rektor-rektor lokal yang sekarang dan secara potensial menurut saya akan menghambat berbagai inovasi yang diharapkan dari rektor asing tersebut dalam memajukan perguruan tinggi yang dipimpinnya dengan cepat.

Disamping “makro-regulasi” itu, tentu rektor asing juga akan berurusan dengan “mikro-regulasi” yang ada di masing-masing perguruan tinggi. Mikro-regulasi ini tentu sedikit banyak juga harus memberi ruang dan fleksibilitas yang cukup agar inovasi-inovasi dan kebijakan rektor asing bisa memacu kinerja perguruan tinggi. Mikro-regulasi ini juga kemungkinan besar perlu disesuaikan agar birokrasi dan budaya kerja rektor asing bisa sejalan dengan apa yang telah berjalan selama ini. Ini tentu suatu tantangan yang tidak ringan.

Bagaimana memberi ruang fleksibilitas di tataran makro- dan mikro-regulasi bagi rektor asing, mekanisme serta aspeknya belum jelas sehingga menimbulkan kontroversi dan tanda tanya besar. Ada pertanyaan besar yang bisa timbul, kalau memang ada privilege dan fleksibiitas bagi rektor asing dalam berhadapan dengan regulasi Pemerintah, lantas kenapa rektor lokal tidak diberi peluang yang sama sejak dulu agar mereka bisa melakukan inovasi-inovasi yang baik untuk memacu kinerja perguruan tinggi. Sangat besar kemungkinan rektor-rektor lokal juga akan bisa memacu kinerja perguruan tinggi jika diberi privilege dan fleksibiltas yang sama.

Menelisik Beberapa Parameter Lembaga Pemeringkatan dan Tantangan Rektor Asing

Mari kita sedikit berskenario bahwa kebijakan rektor asing ini diterapkan oleh Pemerintah. Rektor asing harus menerima tantangan Menristekdikti untuk membawa perguruan tinggi yang dipimpinnya masuk paling tidak peringkat 200 dunia versi QS World University Ranking, Kita mengambil pemeringkatan ini sebagai contoh, karena posisi beberapa perguruan tinggi kita lebih baik di Lembaga ini.

Lembaga ini menilai suatu perguruan tinggi memakai 6 parameter, yaitu reputasi akademik (academic reputation) dengan bobot nilai 40%, reputasi pemakai lulusan (employer reputation) dengan bobot nilai 10%, rasio dosen-mahasiswa (faculty/student ratio) dengan bobot nilai 20%, sitasi dosen (citation per faculty) dengan bobot nilai 20%, ratio dosen internasional dengan bobot nilai 5%, dan rasio mahasiswa internasional dengan bobot nilai 5%. (5)

Pada parameter reputasi akademik, lembaga ini akan melakukan survey pada akademisi dan pakar dunia tentang universitas yang akan dinilai. Tentu hanya akademisi dan pakar dunia yang mengenal universitas tersebut dengan baik yang akan memberikan opini yang baik tentang perguruan tinggi yang ditanyakan. Tentu ini bisa dicapai hanya dengan membangun kerjasama yang dekat serta berkesinambungan antar institusi, dosen, mahasiswa, dan penelitian dan berbagai kegiatan akademik yang lain. Kerjasama yang dimaksud tentu bukan hanya sekedar penandatanganan MOU kerjasama, benchmarking, dan kunjungan-kunjungan singkat, namun kerjasama yang terinstitusionalisasi sehingga melahirkan kedekatan institusi dan aktor-aktornya seperti dosen dan peneliti. Hanya mengandalkan hubungan antara dosen atau peneliti kita dengan para supervisornya di luar negeri tidak akan cukup, namun harus dibarengi dengan kerjasama yang bersifat mutual dan setara. Inisiatif kolaborasi ini sudah mulai dibangun, namun saya kira masih butuh waktu yang lama untuk mendapatkan reputasi akademik yang baik. Satu hal yang paling penting dari reputasi akademik ini tentunya adalah produktifitas publikasi dan inovasi ilmu serta teknologi yang dihasilkan. Sektor ini, perguruan tinggi Indonesia masih harus bekerja ekstra keras. Dengan publikasi yang banyak dan bermutu, tentu nama institusi akan lebih dikenal oleh akademisi dan pakar dunia. Adalah tugas rektor asing untuk menggenjot produktifitas dan kualitas ilmiah ini. Pertanyaannya, bagaimana rektor asing itu melakukannya di tengah kondisi dana penelitian yang dianggarkan negeri ini masih sangat terbatas?

Sebagai ilustrasi sederhana, anggaran yang disiapkan Kemenristekdikti untuk penelitian dan pengembangan tahun 2019 hanya sebesar 2 Trilyun Rupiah, dan itupun akan dibagi-bagi lagi ke lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi dibawah Kemenristekdikti. Bisa dibayangkan jumlah dana penelitian yang dikelola tiap perguruan tinggi akan jauh lebih kecil lagi. Universitas Hasanuddin umpamanya secara internal tahun 2018 menganggarkan dana hibah penelitian sebesar 20 milyar rupiah. Bandingkan dengan anggaran penelitian yang digelontorkan oleh Australian Research Council (ARC) tahun 2018 sebesar kurang lebih 36,9 Trilyun Rupiah.(6) University of Sydney, peringkat 42 dunia versi QS World University Ranking 2019, tahun lalu mendapat anggaran penelitian  sekitar 358 milyar Rupiah dari ARC.(7) Fakta dana penelitian yang minim seperti ini secara potensial akan dihadapi oleh rektor asing di Indonesia, sementara salah satu tugas yang dibebankan oleh Kemenristekdikti adalah meningkatkan produktifitas penelitian dan publikasi agar bisa meningkatkan reputasi akademiknya.

Meningkatkan produktifitas penelitian dan  publikasi tidak selalu sinonim dengan peningkatan kualitasnya. Kualitas penelitian dan publikasi ini memiliki dimensi yang lain dan sering diukur secara kasar dengan jumlah sitasi publikasi yang telah diterbitkan. Tantangannya sekali lagi adalah, dengan jumlah pendanaan riset dan pengembangan yang rendah, ditambah dengan infrastruktur penelitian yang sangat minim, sangat sulit meningkatkan kualitas dan impact publikasi yang dihasilkan. Ditambah lagi bahwa kualitas SDM dosen dan peneliti kita masih perlu banyak perbaikan. Kesemuanya ini akan menjadi tantangan berat rektor asing dalam memacu peningkataan kuantitas dan kualitas penelitian dan publikasi, terlebih jika tidak dilakukan langkah dan kebijakan radikal meningkatkan kebijakan anggaran pemerintah dan swasta dalam mendanai penelitian dan pengembangan untuk perguruan tinggi secara nasional.

Reputasi akademik suatu perguruan tinggi sesungguhnya adalah aspek yang paling penting dan memerlukan waktu yang tidak singkat untuk membangunnya. Jikalau reputasi akademik ini bagus, maka niscaya parameter yang lain seperti jumlah mahasiswa, dosen, peneliti asing yang mau datang ke perguruan tinggi tertentu akan lebih meningkat secara alamiah. Mengenai rasio dosen-mahasiswa, saya kira bisa lebih mudah disesuaikan dengan mengontrol input mahasiswa dan penambahan SDM dosen dan peneliti sesuai kebutuhan.

Mampukah rektor asing melakukan perubahan lokal di tingkat perguruan tinggi yang dipimpinnya meningkatkan reputasi akademik ini dalam waktu yang singkat (baca: 4 tahun)? Sekali lagi, bukan hal yang tidak mungkin. Ini sangat bergantung ada tidaknya  kebijakan anggaran secara nasional untuk memperbaiki sistem pendidikan tinggi, peningkatan pendanaan penelitian yang berarti dan konsisten.

Saya justeru melihat mendatangkan professor dan peneliti asing sebagai mentor dan coach bagi peneliti dan dosen dalam negeri, sembari meningkatkan pendanaan penelitian dan infrastruktur penelitian akan lebih menjanjikan dibanding mendatangkan rektor asing yang kiprahnya hanya dalam tataran manajerial.

Referensi

  1. DPR Tolak Ide dari Pemerintah soal Rektor Impor, Memangnya Tak Ada Lagi Anak Bangsa? [Internet]. [cited 2019 Aug 2]. Available from: https://www.jpnn.com/news/dpr-tolak-ide-dari-pemerintah-soal-rektor-impor-memangnya-tak-ada-lagi-anak-bangsa
  2. Rektor Impor, Ide Jokowi, dan Bully-an untuk Menristekdikti | Republika Online [Internet]. [cited 2019 Aug 2]. Available from: https://www.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/19/08/01/pvjvm7409-rektor-impor-ide-jokowi-dan-bullyan-untuk-menristekdikti
  3. Menristekdikti: Jokowi Setuju “Impor” Rektor, Diterapkan Mulai 2020 [Internet]. [cited 2019 Aug 2]. Available from: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4648090/menristekdikti-jokowi-setuju-impor-rektor-diterapkan-mulai-2020
  4. Jokowi Sepakat “Impor Rektor”, Peminat Pertama Datang dari Korea [Internet]. [cited 2019 Aug 2]. Available from: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4649034/jokowi-sepakat-impor-rektor-peminat-pertama-datang-dari-korea?tag_from=news_beritaTerkait
  5. QS World University Rankings – Methodology | Top Universities [Internet]. [cited 2019 Aug 2]. Available from: https://www.topuniversities.com/qs-world-university-rankings/methodology
  6. Snapshot: November 2018 ARC Grants Announcement | Australian Research Council [Internet]. [cited 2019 Aug 2]. Available from: https://www.arc.gov.au/news-publications/media/funding-announcement-kits/november-2018-arc-grants-announcement/snapshot-november-2018-arc-grants-announcement
  7. $37 million funding for University of Sydney research – The University of Sydney [Internet]. [cited 2019 Aug 2]. Available from: https://sydney.edu.au/news-opinion/news/2018/11/29/over-30m-government-funding-for-sydney-research.html

Aminuddin Blog: Rektor Asing dan Impian Perguruan Tinggi Kelas Dunia: Mungkinkah?