Berpolitik di era disruption technology: Tanggung jawab komunikasi politik digital


Era baru dalam politik dan berpolitik di dunia telah terjadi seiring dengan semakin berkembangnya infrastruktur komunikasi digital. Era disruption technology telah dan akan terus mengubah wajah perpolitikan dan perilaku politisi di mana saja termasuk di Indonesia. Perubahan yang niscaya ini sepertinya tidak akan mengubah tujuan berpolitik itu sendiri, setidaknya tujuan jangka pendeknya yaitu merebut atau memperoleh kekuasaan politik, yang idealnya merupakan langkah pertama untuk menerapkan kebijakan-kebijakan pembangunan sesuai dengan harapan rakyat. Politisi yang tidak responsif akan perubahan ini, alias gagal move-on akan gagal dalam aspirasi politiknya di masa depan.

Ada dua kekuatan utama komunikasi di era disruption technology seperti sekarang ini yang penting diketahui oleh para politisi. Dengan memahami ini, politisi dan institusi politik akan lebih antisipatif dan bertanggungjawab dalam melakoni komunikasi politik mereka dengan masyarakat luas atau konstituen mereka.

Pertama, informasi apapun secara virtual akan dengan mudah tersebar dengan cepat dan menjangkau banyak orang. Ini bisa menjadi senjata ampuh sekaligus mematikan untuk meraih dan kehilangan simpati dan dukungan masyarakat luas terhadap isu-isu politik. Secara praktis, ini akan mempengaruhi keakuratan polling yang dilakukan oleh lembaga-lembaga polling  baik terkait kepopuleran maupun elektabilitas seseorang atau partai tertentu. Hasil polling yang  bersifat dinamis dan terikat dengan dimensi waktu dan metodologi, lebih dinisbikan lagi oleh mudahnya dukungan, vote, dan opini masyarakat berubah oleh pengaruh informasi melalui komunikasi digital, salah satunya melalui media sosial. Informasi yang akurat/obyektif maupun tidak benar/hoax akan mempengaruhi dukungan, vote, dan opini masyarakat secara luas. Contoh konkrit yang bisa kita lihat adalah kemenangan Donald Trump di AS dalam pemilu presiden, dan kemenangan pasangan Anies-Sandi di Pilkada DKI, yang sama-sama menyelisihi berbagai hasil polling yang lebih mengunggulkan kandidat/pasangan kandidat lain dalam kontestasi politik yang bersangkutan. Dalam kedua contoh tersebut, kontestasi dan perang opini di media sosial begitu intens, baik yang berdasarkan fakta maupun hoax. Perang opini di media sosial ini akan sangat mempengaruhi sentimen masyarakat terlebih jika isu dan topik yang diangkat terkait masalah SARA.

Kedua, komunikasi di era disruption technology ini memungkinkan peningkatan partisipasi politik masyarakat terhadap isu-isu politik yang sedang ramai diperbincangkan. Diperkirakan tahun 2018 ini pengguna smartphone di Indonesia akan meningkat melebihi 100 juta orang, membuat Indonesia menjadi salah satu raksasa digital dunia. Dan angka ini  diperkirakan akan terus bertambah di tahun-tahun yang akan datang. Penggunaan media komunikasi digital, media sosial melalui smartphone tentunya akan membuat masyarakat lebih partisipatif sekaligus reaksioner terhadap isu-isu politik aktual yang sedang terjadi baik itu akurat maupun hoax. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana agar peningkatan partisipasi politik masyarakat itu disertai oleh peningkatan kualitas partisipasi mereka. Kualitas partisipasi politik ini bisa diukur dengan seberapa kritis masyarakat terhadap informasi yang mereka dapatkan secara online. Partisipasi politik digital yang berkualitas tidak akan mempan terhadap informasi tidak benar/hoax.

Berpolitik di era disruption technology

Di era dimana “everyone goes digital“, “everyone goes online” maka politisi dan institusi politik juga mau tidak mau harus berubah budaya.  Budaya yang saya maksud adalah budaya melek informasi. Politisi harus lebih antisipatif. Politisi harus memiliki kepekaan akan ide, isu, dan kepentingan arus bawah (grass root) konstituen mereka. Politisi mau tidak mau, suka atau tidak suka harus terjun ke komunikasi digital, media sosial, bukan hanya dalam rangka memperkenalkan diri dan aspirasi politik yang mereka inginkan, namun juga dalam rangka menyerap keinginan dan harapan arus bawah masyarakat ini. Ini akan memudahkan para politisi memformulasikan visi dan misi politik mereka yang bersifat bottom-up yang bertumpu pada aspirasi dan keinginan masyarakat secara luas.

Politisi dan dan institusi politik juga dituntut lebih bertanggungjawab dalam hal beropini dan mengeluarkan pernyataan secara umum melalui media digital dan media sosial. Politisi harus akurat dan obyektif dalam menyebarkan informasi terlebih jika ingin menggerakkan opini masyarakat terhadap suatu isu tertentu. Ini menuntut politisi tidak hanya pandai berasumsi tetapi juga pandai dalam mencari, mengumpulkan, dan menganalisa, dan menyajikan data sesuai dengan isu yang mereka ingin sampaikan. Apakah semua politisi kita mulai dari pusat sampai daerah sudah memiliki kemampuan ini?Ini saya kira perlu pengkajian yang mendalam. Pendek kata, politisi di masa depan harus berubah menjadi politisi yang lebih pintar/terpelajar dan lebih obyektif.

Salah satu hal yang tidak bisa dihindarkan dalam era politik digital ini adalah adanya perang opini antar politisi dan pendukungnya di media sosial. Ini bukanlah hal yang negatif sepanjang perang opini ini bertumpu pada ide dan asumsi yang ditunjang oleh fakta dan data yang akurat. Komunikasi politik seperti ini di masa depan akan bertambah sengit dan meluas, dan mudah-mudahan bisa menambah kecerdasan dan partisipasi politik masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, instrumen hukum yang tegas dan adil merupakan wasit yang diperlukan agar interaksi politik digital ini tidak keluar dari rambu-rambu yang melanggar hak dan mencemarkan nama baik orang lain. Hukum yang tidak tegas dan memihak justru akan memicu perpecahan di arus bawah dan akan memunculkan politik dendam kesumat, ketidaksinambungan kebijakan ketika terjadi pergantian rezim.

Peranan intelektual, media massa dan pemuka agama dalam komunikasi politik digital

Ketiga pilar masyarakat ini yaitu para intelektual, media massa dan pemuka agama bisa memainkan peranan yang krusial dalam era komunikasi politik digital.

Para intelektual harus memainkan peranan sebagai agen pencerdasan masyarakat secara keseluruhan termasuk bagi politisi. Ini tentu bisa dilakukan baik dengan terjun secara langsung ke dunia politik praktis maupun secara tidak langsung dengan berkontribusi dalam penyampaian opini dan pendapat yang obyektif dan berdasarkan fakta terhadap isu-isu politik.  Politisi intelektual dan intelektual politisi tidak boleh seratus persen terbawa arus partisan dalam menyikapi isu politik tertentu. Tentu ini sulit dalam lingkungan dan struktur politik indonesia, dimana partai sangat berkuasa terhadap politisi mereka yang sudah terpilih di parlemen. Mungkin pemikiran agar kekuasaan partai dikurangi bahkan ditiadakan dalam parlemen perlu dipertimbangkan, sehingga anggota parlemen dari partai betul-betul hadir sebagai wakil rakyat dibanding wakil partai mereka.

Media massa telah lama diharapkan bisa menjadi pilar politik yang obyektif di tengah masyarakat, namun sayangnya media-media masaa juga tidak imun dari sikap partisan. Salah satu sebabnya adalah kepemilikan media tersebut juga dipunyai oleh politisi-politisi. Ke depan, harus dicari cara yang efektif agar media massa bisa lepas pengaruh politik partisan ini. Media massa yang obyektif, mencerdaskan hanya bisa jika dilandasi oleh semangat mendidik masyarakat agar lebih cerdas dan tidak dibutakan oleh kacamata kuda kepentingan politik pemiliknya. Aturan yang tegas dan jelas bagi media massa agar tidak partisan, bertindak adil, cover both side, harus terus diefektifkan tanpa pandang bulu. Upaya masyarakat secara luas dalam mengontrol media juga perlu terus didukung agar media massa bisa lebih bertanggungjawab di masa depan terkait sikap dan opini politiknya.

Sudah diketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan sendi-sendi agama yang kuat meski secara resmi bukan negara agama. Ini berarti bahwa nilai dan norma agama dipandang sangat penting oleh mayoritas masyarakat. Isu-isu yang bertentangan dengan norma dan nilai agama meskipun itu dipandang merupakan bagian dari kampanye HAM tidak akan pernah mendapat tempat dalam pandangan masyarakat indonesia. Oleh karena itu dalam komunikasi politiknya, politisi mau tidak mau harus mempertimbangkan sensitivitas keberagamaan masyarakat di Indonesia. Politik yang tuna agama di Indonesia adalah suatu hal yang tidak mungkin.

Pemuka agama tentu diharapkan memainkan peranan yang besar dan konstruktif dalam mencerdaskan seluruh elemen bangsa dalam komunikasi politik digital. Karena nilai agama itu bersifat universal dalam hal mencapai kemaslahatan seluruh masyarakat, kecurigaan dan ketakutan terhadap pemuka agama terlibat dalam komunikasi politik digital adalah berlebihan. Ruang diskusi dan interaksi di media digital dan media sosial harus dimamfaatkan oleh pemuka agama untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat tanpa harus mengorbankan nilai dan hukum agama tertentu. Di lain pihak, penguasa dan politisi harus siap berkomunikasi secara makruf dan konstruktif dengan pemuka agama secara keseluruhan jika terjadi perbedaan pandangan dan pendapat mengenai isu politik tertentu. Inti dari semuanya adalah penciptaan saluran komunikasi dan silaturrahim yang inklusif bukan ekslusif dalam memecahkan perbedaan pandangan politik dengan pemuka agama manapun.

2 thoughts on “Berpolitik di era disruption technology: Tanggung jawab komunikasi politik digital

    • Menurut saya belum optimal, dari pengamatan saya komunikasi politik para politisi kita serta partai politik baru gencar menjelang pemilu/pilkada, padahal komunikasi itu harus terus dilakukan ke masyarakat sepanjang waktu. Kalau kita menjadikan partai politik sebagai wahana pendidikan politik bernegara, wahana mendekatkan pempimpin politik dengan masyarakat serta simpul simpul kepemimpinan informalnya, maka seharusnya komunikasi itu dilakukan terus menerus. Hanya saja, mampukah partai dan politisi melakukan itu tanpa dana yang mencukupi?Menurut saya bisa, jika partai dan politisi memiliki visi melakukan perbaikan masyarakat semata-mata sebagai pengabdian transendentalnya kepada Tuhan.

Tinggalkan komentar